BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Gender
pada dasarnya adalah perbedaan jenis kelamin yang bukan biologis dan bukan
kodrat Tuhan. Perbedaan biologis jenis kelamin merupakan kodrat Tuhan, sehingga
secara permanen berbeda. Sementara gender adalah perbedaan antara laki-laki dan
perempuan yang didasarkan atas kontruksi sosial. Perbedaan yang bukan kodrat
dan bukan ciptaan Tuhan, tetapi yang diciptakan baik laki-laki maupun perempuan
melalui proses sosial dan budaya yang panjang. Perbedaan perilaku antara laki-laki
dan perempuan selain yang biologis sebagian besar justru terbentuk melalui
proses sosial budaya. Oleh karena itu, gender selalu berubah dari waktu ke
waktu, dari tempat ketempat, bahkan dari kelas ke kelas. Sementara jenis
kelamin tidak berubah.
Dalam
permbahasan di bawah ini, akan dijelaskan secara lebih detail mengenai gender
bila dihubungkan dengan fiqh islam dan juga di lihat dari pemikiran-pemikiran
suatu golongan.
Aplikasi fiqh dalam rentang waktu yang panjang dan
melampai sosio-kultural di mana fiqh diformulasikan, tanpa dibarengi oleh
analisis sosiologis yang memadai, akan menghilangkan keragaman sosok perempuan
yang khas dan tidak mungkin digeneralisasikan. Meuleman menandaskan bahwa upaya
untuk mempertahankan fiqh klasik tanpa mempertimbangkan perubahan zaman,
golongan sosial dan tingkat pendidikan dan konsep kesetaraan masyarakat telah
menafikan perempuan sebagai makhluk yang berkembang dan berubah sebagaimana
laki-laki.
Kecerdasan untuk mempertahankan fiqh klasik dengan
menekankan posisi instrumentalnya telah membawa stagnasi pemikiran Islam
terhadap problema kaum perempuan, yang dari masa ke masa selalu direduksi hanya
untuk kepentingan di luar dirinya. Di saat ideologi gender patriarkhis
bertalian dengan kepentingan kapitalisme perempuan disudutkan pada “peran
ganda” yang membebani. Sejauh itu, Islam belum mampu memberikan solusi yang
memadai kecuali hanya memberikan legitimasi teologis terhadap upaya-upaya
domestifikasi yang tidak selamanya menyelamatkan perempuan dari kesewenangan
laki-laki.
Sudah waktunya diadakan reaktualisasi, bila tidak
rekonstruksi, terhadap konsep-konsep Islam yang lebih memberi peluang perempuan
untuk hadir sebagai sosok yang dinamis, sopan dan bermanfaat bagi agama dan
masyarakat. Bukan sebagai makhluk yang terkurung di empat dinding rumah yang
manja dan disibukkan oleh intrik-intrik pergaulan elit seperti yang disinyalir
oleh Masharul Haq Khan (1994). Seharusnya sosok perempuan dikembalikan pada
perempuan-perempuan di masa Nabi, yang sering terluapkan dalam fiqh, sebagai
sosok yang dinamis, mandiri, sopan dan terjaga akhlaknya.
Masalah mendasar yang berkaitan erat dengan
problematika perempuan adalah langgengnya budaya patriarkhi dalam masyarakat
kontemporer, yang dalam kadar tertentu, selaras dengan latar budaya kebanyakan
dari kitab-kitab fiqh klasik. Sementara itu, modernisasi telah memberi peluang
pendidikan yang sama antara laki-laki dan perempuan, yang pada gilirannya
menumbuhkan kesadaran baru tentang hak dan kewajiban mereka sebagai seorang
manusia.
Sehingga tidak mengherankan bila banyak kalangan
pemikir Islam, yang bersimpati pada perempuan, untuk mengadakan kajian kritis
terhadap kemungkinan merumuskan fiqh alternatif yang mampu menjawab
permasalahan kontemporer. Ini sebenarnya bukan hal yang baru, Al-Maraghi telah
menetapkan bahwa dalam hubungan kemasyarakatan, termasuk di dalamnya relasi
sosial laki-laki dan perempuan, harus disesuaikan dengan semangat keadilan
zaman. Hal ini juga didukung oleh sebagian besar ulama ushul fiqh (Syamsul
Anwar, 1995) bahwa hukum bersandar pada kausanya.
B. Rumusan Masalah
a. Keadilan
Dalalm Gender
b. Pemikiran –
pemikiran keagamaan
c. Posisi
Perempuan Dalam Islam
d. Gender Dalam
Fiqih
C. Tujuan
a. Untuk
mengetahui dalam gender
b. Pemikiran –
Pemikiran keagaman
c. Posisi
Perempuan Dalam Islam
d. Gender Dalam
Fiqih
BAB II
PEMBAHASAN
A. Keadilan
Dalam Gender
Sejumlah pandangan dan fakta-fakta sosial budaya yang masih
terus berlangsung bahkan sampai saat ini yaitu, perempuan terutama pada
masyarakat Jawa, dipandang sebagai konco wingking dari laki-laki yang menjadi
suaminya. Ia adalah teman hidup dengan status di belakang.Ke surga atau neraka
ikut suami. Nasib perempuan, dengan begitu, benar-benar sangat tergantung pada
laki-laki. Perempuan yang baik atau ideal dalam pandangan umum adalah istri
yang penurut, yang selalu menundukkan kepalanya di hadapan suami dan tidak suka
protes, tanpa peduli apakah yang dilakukan suaminya benar atau tidak. Mereka
dengan rela membiarkan segala penderitaan ditanggung sendiri di dalam hati dan
batinnya. Mereka berkeyakinan bahwa sikap dan pandangan yang demikian niscanya
akan ada balasannya yang lebih baik kelak. Sebaliknya, istri yang suka protes
atau mengkritik dianggap sebagai perempuan lancang dan tidak baik.
` Pada
ruang politik, pekerjaan dan keringat kaum perempuan di kantor-kantor dan di
pabrik-pabrik atau di sawah-sawah, dinilai dan dihargai lebih rendah dari yang
diperoleh kaum laki-laki. Bahkan, pekerjaan-pekerjaan yang diberikan kepada
perempuan justru pada sector-sektor yang tidak membutuhkan kecerdasan dan
keterampilan tinggi. Bagi pekerja yang bersuami, pekerjaan yang dilakukan hanya
dianggap sebagai sambilan, karena tugas utamanya adalah mengurus hal-hal
domestic. Itupun sebatas apabila diizinkan oleh suaminya. Karena diperlukan
untuk mencari tambahan penghasilan. Yang justru paling menyedihkan adalah fakta
yang di ungkapkan Hasil Penelitian BPSW tahun 1995 yang menyebutkan bahwa
hampir 50% perempuan di pedesaan bekerja sebagai pekerja yang tidak dibayar.
Sedangkan, wanita juga memiliki
kewajiban untuk terjun ke dalam bidang profesi jika berada dalam dua kondisi, pertama,
ketika harus menanggung biaya hidup sendiri beserta keluarganya pada saat orang
yang menanggungnya sudah tidak ada atau tidak berdaya. Kedua, dalam kondisi
wanita dianggap fardhu kifayah untuk melakukan suatu pekerjaan yang dapat
membantu terjaganya eksistentsi suatu masyarakat muslim.
Fenomena, relitas, dan fakta-fakta social budaya sebagai
dikemukakan di atas memperlihatkan dengan jelas adanya relasi laki-laki dan
perempuan yang tidak setara. Inilah yang oleh kaum feminis sering disebut
sebagai ketidakadilan gender. Akhir-akhir ini, ketidak setaraan itu tengah
menghadapi gempuran-gempuran hebat oleh apa yang dinamakn gerakan feminis.
B. Pemikiran-Pemikiran Keagamaan
Penelitian terhadap sumber-sumber
otoritas pemikiran agama menyimpulkan bahwa pengertian tantang adanya perbedaan
antara seks dan gender benar-benar belum dapat diterima sepenuhnya. Sejumlah
besar ulama (istilah yang biasa digunakan untuk pemegang otoritas dalam wacana
pemikiran Islam) tetap memandang bahwa laki-laki memang menempati posisi super
dari perempuan. laki-laki lebih unggul daripada kaum perempuan. Keputusan ini
dihubungkan dengan pernyataan Al-Qur’an dalam surat An-Nisa’ 34:
“kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka”.
Kemudian
tentang hadis Nabi SAW yang menyebutkan bahwa perempuan diciptakan dari tulang
rusuk laki-laki, orang-orang Arab menafsirkan sejak semula perempuan bersifat
sekunder, perempuan diciptakan hanya sebagai pelengkap dan untuk melayani
laki-laki. Jika laki-laki dan perempuan telah diciptakan tidak setara oleh
Allah, maka selamanya tidak dapat menjadi setara. Pemahan ini kemudian menjadi
keyakinan dan ideology yang melekat dalam pikiran masyarakat.
Akan tetapi, kini realitas budaya telah
memperlihatkan semakin banyak perempuan yang memiliki kemampuan intelek dan
kecerdasan nalar, bahkan juga kekuatan fisik yang justru secara relative memang
mengungguli laki-laki. Hal ini bisa terjadi karena kebudayaan telah memberikan
peluang, meskipun masih sedikit dari mereka yang mengaktualisasikan
potensi-potensi yang mereka miliki, seperti yang juga dimiliki kaum laki-laki.
C. Posisi
Perempuan Dalam Islam
Yusuf Qardhawi sendiri menyatakan bahwa tidak ada satupun agama langit
atau bumi yang memuliakan perempuan seperti Islam memuliakan, memberikan hak,
menyayangi dan memeliharanya, baik sebagai anak perempuan, perempuan dewasa,
ibu, dan anggota masyarakat. Islam memuliakan perempuan sebagai manusia yang
diberi tugas dan tanggung jawab yang utuh seperti halnya laki-laki yang kelak
akan mendapatkan pahala atau siksa sebagai balasannya.
Allah swt berulangkali menyebutkan prinsip
kesetaraan dalam Islam, di antaranya pada surat An Nahl ayat 97: “Barangsiapa
mengerjakan amal saleh baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman,
maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan
sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik
dari apa yang telah mereka kerjakan”
Namun sangat disayangkan bahwa masih banyak
umat Islam yang merendahkan kaum perempuan dengan cara mengurangi hak-haknya
serta mengharamkannya dari apa-apa yang telah ditetapkan syara’. Padahal,
syariat Islam sendiri telah menempatkan perempuan pada proporsi yang sangat
jelas, yaitu sebagai manusia, sebagai perempuan, anak perempuan, istri atau
ibu. Padahal sudah jelas bahwa Al-Qur’an menjungjung tinggi dua orang wanita
sebagai contoh kesmpurnaan, yaitu asia, istri Fir’aun, dan Maryam, putrid Imran
dan ibu Nabi Isa. Hadis Nabi menambahkan dua orang wanita lain yaitu Khadijah,
istri Nabi Muhammad dan Fatimah, anak perempuan beliau.
Hal yang lebih memprihatinkan, sikap
merendahkan perempuan tersebut sering disampaikan dengan mengatasnamakan agama
(Islam), padahal Islam bebas dari semua itu Islam hadir di dunia untuk
membebaskan manusia dari berbagai bentuk ketidakadilan. Jika ada norma yang
dijadikan pegangan oleh masyarakat, tetapi tidak sejalan dengan prinsip-prinsip
keadilan, norma itu harus ditolak. Demikian pula bila terjadi berbagai bentuk
ketidakadilan terhadap perempuan. Praktik ketidakadilan dengan menggunakan
dalil agama adalah alasan yang dicari-cari. Sebab, menurut Al Quran, hubungan
antar manusia di dalam Islam didasarkan pada prinsip-prinsip kesetaraan,
persaudaraan dan kemaslahatan.
Allah Swt. Telah menjadikan ratu
rumah tangga. Apabila suami wajib memberi nafkah, maka ia harus menafkahkan
harta untuk mengatur urusan rumah tangga.
Perempuan dibebaskan dari kewajiban yang berlangsung
di luar rumah. Misalnya, perempuan tidak wajib mengerjakan salat jumat. Ia
tidak wajib melakukan jihad, meskipun boleh keluar untuk membantu para mujahid
di medan perang bila ada kebutuhan. Juga ia tidak wajib mengantarkan jenazah,
bahkan ia dilarang melakukannya. Tidak diwajibkan salat di masjid, meskipun
telah diizinkan salat di masjid dengan beberapa syarat. Ia tidak dianjurkan
untuk melakukan itu. Ia tidak diizinkan bepergian, kecuali bersama salah
seorang mahramnya.
Sebaik
petunjuk Islam adalah ia tinggal di rumahnya sebagaimana ditunjukkan oleh
ayat, “Dan tinggallah kamu di rumah-rumahmu.” (Al-Ahzab: 33)
Akan tetapi
Islam tidak bersikap keras dalam rumah, karena ada kalanya perempuan perlu
keluar. Misalnya tidak ada orang lelaki yang menanggungnya atau ia terpaksa
bekerja di luar rumah karena kepala keluarga mengalami kesulitan,
penghasilannya sedikit, sakit, tidak mampu atau sebab lainnya. Semua situasi
dan keadaan ini telah memberikan kemudahan dan kelonggaran.
Disebutkan
dalam hadis:
“Allah telah mengizinkan kalian
untuk keluar guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan.”
Akan tetapi
Allah memberikan izin kepada perempuan untuk memperhatikan keadaan-keadaan dan
kebutuhan-kebutuhan saja. Ia tidak mengubah sedikit pun dari kaidah pokok dalam
sistem masyarakat Islam, yaitu bahwa lingkungan pekerjaan perempuan adalah di
rumah. Izin bagi mereka untuk keluar dari rumah hanyalah sebagai rukhsah dan
kemudahan. Maka ia tidak boleh diartikan dari makna dan tujuan yang lain.
Keluarnya
perempuan menimbulkan akibat-akibat buruk seperti pakaian yang tidak pantas,
tersebarnya kerusakan dan selain itu yang menyebabkan para pendidik mengeluh
dan para pejabat merasa bingung antara keadaan yang ditimbulkan peradaban dan
situasi yang dihadapi masyarakat dan hati nurani yang hidup serta apa yang
diharuskan oleh norma-norma akhlak umum.
Betapapun perempuan menjaga dirinya, ia tidak akan
selamat dari pandangan mata orang-orang jahat dan usaha-usaha untuk menekan dan
menguasainya, terutama bila ia seorang yang cantik. Oleh karena itu sebaiknya
ia duduk di rumah, meskipun hal itu menyebabkan kekurangan tingkat
penghidupannya. Akan tetapi akan tampak pada segi-segi lain sesuatu yang lebih
utama ribuan kali daripada harta, seperti pendidikan anak-anak dan hubungan
yang baik dengan suaminya.
D.
Gender Dalam Fiqh
Menurut Hasyim, salah satu kelemahan fiqh yang ada selama ini
adalah tidak adanya perspektif keadilan gender di dalamnya. Kita harus mampu
bersikap kritis terhadap fiqh yang ada, tidak menerima apa adanya, tanpa
mempertanyakan validitas informasi sahabat. Karena pandangan seperti ini
berakibat meloloskan setiap hadis yang mutunya tidak baik, asal berasal dari
sahabat besar. Dengan berpegang pada prinsip adil dan setara jender dalam Al
Qur’an kita seharusnya bersikap kritis. Kritis dalam arti, setiap hadits yang
dirasa bernada peyoratif, perlu dikaji dan ditelaah lebih lanjut, baik dari
segi perawinya (sanad) maupun kandungannya (matan) haditsnya. Apakah benar
memang Nabi Muhammad pernah berkata seperti itu, dan jika benar, apakah memang
isinya seperti itu. Karena itu, hadis-hadis itu perlu diteliti kebenaran dan
maksudnya untuk memperoleh pandangan budaya baru yang mendukung terciptanya
relasi laki-laki dan perempuan yang adil secara gender, sehingga keberagamaan
umat menjadi dewasa dan sesuai denga ideal yang dicita-citakan Al-Qur’an.
Hasyim juga menyatakan bahwa
untuk melakukan perubahan kita harus memiliki dua persepsi yang mendukungnya,
yaitu :
1)
fiqh
(syariat) itu bukan Al Quran dan bukan pula sunnah sehingga tidak tertutup
kemungkinan untuk dilakukan perubahan di dalamnya. Kita hanya boleh mengubah
sampai pada tingkat reinterpretasi atas tafsir-tafsir Al Quran dan sunnah yang
telah dilakukan oleh ulama-ulama terdahulu, bukan perubahan atas Al Quran dan
sunnah itu sendiri.
2) fiqh (syariat) adalah hasil ijtihad manusia yang tidak
lepas dari kelebihan dan kekurangan yang sangat bergantung kepada konsep
perubahan ruang dan waktu.
Sebagai sebuah hasil proses interpretasi teks Al Quran dan
sunnah Nabi saw melalui berbagai persyaratan metodologis dan intelektualitas
yang sangat ketat sekalipun, pasti ada saja kelemahannya mengingat manusia
secara fitrahnya memang terbatas, seperti ungkapan sebuah hadis populer
“Manusia adalah tempatnya salah dan lupa.” Maka kekurangan dan kesalahan pada
diri manusia adalah alamiah. Hal itu sangat mungkin terjadi pada fiqh yang
merupakan hasil perumusan manusia. Maka sangat masuk akal dilakukan
reinterpretasi atas fiqh, bukan untuk menggugat fiqh tetapi justru untuk
mempertahankan fiqh.
Namun demikian, tetap ada tentangan dari kalangan yang
mempertanyakan kemampuan kita sebagai manusia yang tidak dilahirkan pada masa
Rasul, sahabat, atau tabiin (orang shalih dari generasi setelah
khulafaurrasyidin). Padahal, fiqh bukanlah agama, ia dapat berubah sesuai
perkembangan zaman. Selama ini fiqh terkesan tidak responsif terhadap gerakan
pemberdayaan perempuan, padahal penyusunan fiqh perspektif baru akan
menguntungkan dari dua segi, yaitu memperluas fiqh sebagai wacana yang tetap
terbuka, dan memberikan kemungkinan untuk mengakomodasi setiap perkembangan
BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan
Gender
adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang didasarkan atas kontruksi
sosial. Syariat Islam sendiri telah menempatkan perempuan pada proporsi yang
sangat jelas, yaitu sebagai manusia, sebagai perempuan, anak perempuan, istri
atau ibu. Padahal sudah jelas bahwa Al-Qur’an menjungjung tinggi dua orang wanita
sebagai contoh kesmpurnaan, yaitu asia, istri Fir’aun, dan Maryam, putrid Imran
dan ibu Nabi Isa. Hadis Nabi menambahkan dua orang wanita lain yaitu Khadijah,
istri Nabi Muhammad dan Fatimah, anak perempuan beliau.
Kemudian
untuk melakukan perubahan pandangan, kita harus memiliki dua persepsi yang
mendukungnya, yaitu :
1. fiqh (syariat) itu bukan Al Quran dan bukan pula sunnah sehingga tidak tertutup kemungkinan untuk dilakukan perubahan di dalamnya.
2. fiqh (syariat) adalah hasil ijtihad manusia yang tidak lepas dari kelebihan dan kekurangan yang sangat bergantung kepada konsep perubahan ruang dan waktu.
DAFTAR PUSTAKA
Abahanom-kng.blogspot.com/2012/10/fiqh-perempuan-kesetaraan-gender.html. Di akses tanggal 17 MEI 2026
Boisard, Marcel A, PROF, DR, Humanisme Dalam Islam, 2010,
Bulan Bintang, Jakarta.
Mahfudh, Sahal, KH, MA, Fiqh Perempuan, 2011, LKiS,
Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar