Kamis, 17 November 2016

MAKALAH FIQIH

BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
           Gender pada dasarnya adalah perbedaan jenis kelamin yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Perbedaan biologis jenis kelamin merupakan kodrat Tuhan, sehingga secara permanen berbeda. Sementara gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang didasarkan atas kontruksi sosial. Perbedaan yang bukan kodrat dan bukan ciptaan Tuhan, tetapi yang diciptakan baik laki-laki maupun perempuan melalui proses sosial dan budaya yang panjang. Perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan selain yang biologis sebagian besar justru terbentuk melalui proses sosial budaya. Oleh karena itu, gender selalu berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ketempat, bahkan dari kelas ke kelas. Sementara jenis kelamin tidak berubah.
            Dalam permbahasan di bawah ini, akan dijelaskan secara lebih detail mengenai gender bila dihubungkan dengan fiqh islam dan juga di lihat dari pemikiran-pemikiran suatu golongan.
Aplikasi fiqh dalam rentang waktu yang panjang dan melampai sosio-kultural di mana fiqh diformulasikan, tanpa dibarengi oleh analisis sosiologis yang memadai, akan menghilangkan keragaman sosok perempuan yang khas dan tidak mungkin digeneralisasikan. Meuleman menandaskan bahwa upaya untuk mempertahankan fiqh klasik tanpa mempertimbangkan perubahan zaman, golongan sosial dan tingkat pendidikan dan konsep kesetaraan masyarakat telah menafikan perempuan sebagai makhluk yang berkembang dan berubah sebagaimana laki-laki.
Kecerdasan untuk mempertahankan fiqh klasik dengan menekankan posisi instrumentalnya telah membawa stagnasi pemikiran Islam terhadap problema kaum perempuan, yang dari masa ke masa selalu direduksi hanya untuk kepentingan di luar dirinya. Di saat ideologi gender patriarkhis bertalian dengan kepentingan kapitalisme perempuan disudutkan pada “peran ganda” yang membebani. Sejauh itu, Islam belum mampu memberikan solusi yang memadai kecuali hanya memberikan legitimasi teologis terhadap upaya-upaya domestifikasi yang tidak selamanya menyelamatkan perempuan dari kesewenangan laki-laki.
Sudah waktunya diadakan reaktualisasi, bila tidak rekonstruksi, terhadap konsep-konsep Islam yang lebih memberi peluang perempuan untuk hadir sebagai sosok yang dinamis, sopan dan bermanfaat bagi agama dan masyarakat. Bukan sebagai makhluk yang terkurung di empat dinding rumah yang manja dan disibukkan oleh intrik-intrik pergaulan elit seperti yang disinyalir oleh Masharul Haq Khan (1994). Seharusnya sosok perempuan dikembalikan pada perempuan-perempuan di masa Nabi, yang sering terluapkan dalam fiqh, sebagai sosok yang dinamis, mandiri, sopan dan terjaga akhlaknya.
Masalah mendasar yang berkaitan erat dengan problematika perempuan adalah langgengnya budaya patriarkhi dalam masyarakat kontemporer, yang dalam kadar tertentu, selaras dengan latar budaya kebanyakan dari kitab-kitab fiqh klasik. Sementara itu, modernisasi telah memberi peluang pendidikan yang sama antara laki-laki dan perempuan, yang pada gilirannya menumbuhkan kesadaran baru tentang hak dan kewajiban mereka sebagai seorang manusia.
Sehingga tidak mengherankan bila banyak kalangan pemikir Islam, yang bersimpati pada perempuan, untuk mengadakan kajian kritis terhadap kemungkinan merumuskan fiqh alternatif yang mampu menjawab permasalahan kontemporer. Ini sebenarnya bukan hal yang baru, Al-Maraghi telah menetapkan bahwa dalam hubungan kemasyarakatan, termasuk di dalamnya relasi sosial laki-laki dan perempuan, harus disesuaikan dengan semangat keadilan zaman. Hal ini juga didukung oleh sebagian besar ulama ushul fiqh (Syamsul Anwar, 1995) bahwa hukum bersandar pada kausanya.
B.   Rumusan Masalah
a.    Keadilan Dalalm Gender
b.    Pemikiran – pemikiran keagamaan
c.    Posisi Perempuan Dalam Islam
d.    Gender Dalam Fiqih
C.   Tujuan
a.    Untuk mengetahui dalam gender
b.    Pemikiran – Pemikiran keagaman
c.    Posisi Perempuan Dalam Islam
d.    Gender Dalam Fiqih




BAB II
PEMBAHASAN
A.  Keadilan Dalam Gender
            Sejumlah pandangan dan fakta-fakta sosial budaya yang masih terus berlangsung bahkan sampai saat ini yaitu, perempuan terutama pada masyarakat Jawa, dipandang sebagai konco wingking dari laki-laki yang menjadi suaminya. Ia adalah teman hidup dengan status di belakang.Ke surga atau neraka ikut suami. Nasib perempuan, dengan begitu, benar-benar sangat tergantung pada laki-laki. Perempuan yang baik atau ideal dalam pandangan umum adalah istri yang penurut, yang selalu menundukkan kepalanya di hadapan suami dan tidak suka protes, tanpa peduli apakah yang dilakukan suaminya benar atau tidak. Mereka dengan rela membiarkan segala penderitaan ditanggung sendiri di dalam hati dan batinnya. Mereka berkeyakinan bahwa sikap dan pandangan yang demikian niscanya akan ada balasannya yang lebih baik kelak. Sebaliknya, istri yang suka protes atau mengkritik dianggap sebagai perempuan lancang dan tidak baik.
  `         Pada ruang politik, pekerjaan dan keringat kaum perempuan di kantor-kantor dan di pabrik-pabrik atau di sawah-sawah, dinilai dan dihargai lebih rendah dari yang diperoleh kaum laki-laki. Bahkan, pekerjaan-pekerjaan yang diberikan kepada perempuan justru pada sector-sektor yang tidak membutuhkan kecerdasan dan keterampilan tinggi. Bagi pekerja yang bersuami, pekerjaan yang dilakukan hanya dianggap sebagai sambilan, karena tugas utamanya adalah mengurus hal-hal domestic. Itupun sebatas apabila diizinkan oleh suaminya. Karena diperlukan untuk mencari tambahan penghasilan. Yang justru paling menyedihkan adalah fakta yang di ungkapkan Hasil Penelitian BPSW tahun 1995 yang menyebutkan bahwa hampir 50% perempuan di pedesaan bekerja sebagai pekerja yang tidak dibayar.
            Sedangkan, wanita juga memiliki kewajiban untuk terjun ke dalam bidang profesi jika berada dalam dua kondisi, pertama, ketika harus menanggung biaya hidup sendiri beserta keluarganya pada saat orang yang menanggungnya sudah tidak ada atau tidak berdaya. Kedua, dalam kondisi wanita dianggap fardhu kifayah untuk melakukan suatu pekerjaan yang dapat membantu terjaganya eksistentsi suatu masyarakat muslim.
            Fenomena, relitas, dan fakta-fakta social budaya sebagai dikemukakan di atas memperlihatkan dengan jelas adanya relasi laki-laki dan perempuan yang tidak setara. Inilah yang oleh kaum feminis sering disebut sebagai ketidakadilan gender. Akhir-akhir ini, ketidak setaraan itu tengah menghadapi gempuran-gempuran hebat oleh apa yang dinamakn gerakan feminis.
B.     Pemikiran-Pemikiran Keagamaan
                      Penelitian terhadap sumber-sumber otoritas pemikiran agama menyimpulkan bahwa pengertian tantang adanya perbedaan antara seks dan gender benar-benar belum dapat diterima sepenuhnya. Sejumlah besar ulama (istilah yang biasa digunakan untuk pemegang otoritas dalam wacana pemikiran Islam) tetap memandang bahwa laki-laki memang menempati posisi super dari perempuan. laki-laki lebih unggul daripada kaum perempuan. Keputusan ini dihubungkan dengan pernyataan Al-Qur’an dalam surat An-Nisa’ 34:
          “kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. 
                      Kemudian tentang hadis Nabi SAW yang menyebutkan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, orang-orang Arab menafsirkan sejak semula perempuan bersifat sekunder, perempuan diciptakan hanya sebagai pelengkap dan untuk melayani laki-laki. Jika laki-laki dan perempuan telah diciptakan tidak setara oleh Allah, maka selamanya tidak dapat menjadi setara. Pemahan ini kemudian menjadi keyakinan dan ideology yang melekat dalam pikiran masyarakat.
          Akan tetapi, kini realitas budaya telah memperlihatkan semakin banyak perempuan yang memiliki kemampuan intelek dan kecerdasan nalar, bahkan juga kekuatan fisik yang justru secara relative memang mengungguli laki-laki. Hal ini bisa terjadi karena kebudayaan telah memberikan peluang, meskipun masih sedikit dari mereka yang mengaktualisasikan potensi-potensi yang mereka miliki, seperti yang juga dimiliki kaum laki-laki.
C. Posisi Perempuan Dalam Islam
              Yusuf Qardhawi sendiri menyatakan bahwa tidak ada satupun agama langit atau bumi yang memuliakan perempuan seperti Islam memuliakan, memberikan hak, menyayangi dan memeliharanya, baik sebagai anak perempuan, perempuan dewasa, ibu, dan anggota masyarakat. Islam memuliakan perempuan sebagai manusia yang diberi tugas dan tanggung jawab yang utuh seperti halnya laki-laki yang kelak akan mendapatkan pahala atau siksa sebagai balasannya.
            Allah swt berulangkali menyebutkan prinsip kesetaraan dalam Islam, di antaranya pada surat An Nahl ayat 97: “Barangsiapa mengerjakan amal saleh baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”
             Namun sangat disayangkan bahwa masih banyak umat Islam yang merendahkan kaum perempuan dengan cara mengurangi hak-haknya serta mengharamkannya dari apa-apa yang telah ditetapkan syara’. Padahal, syariat Islam sendiri telah menempatkan perempuan pada proporsi yang sangat jelas, yaitu sebagai manusia, sebagai perempuan, anak perempuan, istri atau ibu. Padahal sudah jelas bahwa Al-Qur’an menjungjung tinggi dua orang wanita sebagai contoh kesmpurnaan, yaitu asia, istri Fir’aun, dan Maryam, putrid Imran dan ibu Nabi Isa. Hadis Nabi menambahkan dua orang wanita lain yaitu Khadijah, istri Nabi Muhammad dan Fatimah, anak perempuan beliau. 
            Hal yang lebih memprihatinkan, sikap merendahkan perempuan tersebut sering disampaikan dengan mengatasnamakan agama (Islam), padahal Islam bebas dari semua itu Islam hadir di dunia untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk ketidakadilan. Jika ada norma yang dijadikan pegangan oleh masyarakat, tetapi tidak sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan, norma itu harus ditolak. Demikian pula bila terjadi berbagai bentuk ketidakadilan terhadap perempuan. Praktik ketidakadilan dengan menggunakan dalil agama adalah alasan yang dicari-cari. Sebab, menurut Al Quran, hubungan antar manusia di dalam Islam didasarkan pada prinsip-prinsip kesetaraan, persaudaraan dan kemaslahatan.
            Allah Swt. Telah menjadikan ratu rumah tangga. Apabila suami wajib memberi nafkah, maka ia harus menafkahkan harta untuk mengatur urusan rumah tangga.
Perempuan dibebaskan dari kewajiban yang berlangsung di luar rumah. Misalnya, perempuan tidak wajib mengerjakan salat jumat. Ia tidak wajib melakukan jihad, meskipun boleh keluar untuk membantu para mujahid di medan perang bila ada kebutuhan. Juga ia tidak wajib mengantarkan jenazah, bahkan ia dilarang melakukannya. Tidak diwajibkan salat di masjid, meskipun telah diizinkan salat di masjid dengan beberapa syarat. Ia tidak dianjurkan untuk melakukan itu. Ia tidak diizinkan bepergian, kecuali bersama salah seorang mahramnya.
Sebaik petunjuk Islam adalah ia tinggal di rumahnya sebagaimana ditunjukkan oleh ayat, “Dan tinggallah kamu di rumah-rumahmu.” (Al-Ahzab: 33)
Akan tetapi Islam tidak bersikap keras dalam rumah, karena ada kalanya perempuan perlu keluar. Misalnya tidak ada orang lelaki yang menanggungnya atau ia terpaksa bekerja di luar rumah karena kepala keluarga mengalami kesulitan, penghasilannya sedikit, sakit, tidak mampu atau sebab lainnya. Semua situasi dan keadaan ini telah memberikan kemudahan dan kelonggaran.
Disebutkan dalam hadis:
“Allah telah mengizinkan kalian untuk keluar guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan.”
Akan tetapi Allah memberikan izin kepada perempuan untuk memperhatikan keadaan-keadaan dan kebutuhan-kebutuhan saja. Ia tidak mengubah sedikit pun dari kaidah pokok dalam sistem masyarakat Islam, yaitu bahwa lingkungan pekerjaan perempuan adalah di rumah. Izin bagi mereka untuk keluar dari rumah hanyalah sebagai rukhsah dan kemudahan. Maka ia tidak boleh diartikan dari makna dan tujuan yang lain.
Keluarnya perempuan menimbulkan akibat-akibat buruk seperti pakaian yang tidak pantas, tersebarnya kerusakan dan selain itu yang menyebabkan para pendidik mengeluh dan para pejabat merasa bingung antara keadaan yang ditimbulkan peradaban dan situasi yang dihadapi masyarakat dan hati nurani yang hidup serta apa yang diharuskan oleh norma-norma akhlak umum.
Betapapun perempuan menjaga dirinya, ia tidak akan selamat dari pandangan mata orang-orang jahat dan usaha-usaha untuk menekan dan menguasainya, terutama bila ia seorang yang cantik. Oleh karena itu sebaiknya ia duduk di rumah, meskipun hal itu menyebabkan kekurangan tingkat penghidupannya. Akan tetapi akan tampak pada segi-segi lain sesuatu yang lebih utama ribuan kali daripada harta, seperti pendidikan anak-anak dan hubungan yang baik dengan suaminya.
D.           Gender Dalam Fiqh
                        Menurut Hasyim, salah satu kelemahan fiqh yang ada selama ini adalah tidak adanya perspektif keadilan gender di dalamnya. Kita harus mampu bersikap kritis terhadap fiqh yang ada, tidak menerima apa adanya, tanpa mempertanyakan validitas informasi sahabat. Karena pandangan seperti ini berakibat meloloskan setiap hadis yang mutunya tidak baik, asal berasal dari sahabat besar. Dengan berpegang pada prinsip adil dan setara jender dalam Al Qur’an kita seharusnya bersikap kritis. Kritis dalam arti, setiap hadits yang dirasa bernada peyoratif, perlu dikaji dan ditelaah lebih lanjut, baik dari segi perawinya (sanad) maupun kandungannya (matan) haditsnya. Apakah benar memang Nabi Muhammad pernah berkata seperti itu, dan jika benar, apakah memang isinya seperti itu. Karena itu, hadis-hadis itu perlu diteliti kebenaran dan maksudnya untuk memperoleh pandangan budaya baru yang mendukung terciptanya relasi laki-laki dan perempuan yang adil secara gender, sehingga keberagamaan umat menjadi dewasa dan sesuai denga ideal yang dicita-citakan Al-Qur’an. 
Hasyim juga menyatakan bahwa untuk melakukan perubahan kita harus memiliki dua persepsi yang mendukungnya, yaitu :
1)            fiqh (syariat) itu bukan Al Quran dan bukan pula sunnah sehingga tidak tertutup kemungkinan untuk dilakukan perubahan di dalamnya. Kita hanya boleh mengubah sampai pada tingkat reinterpretasi atas tafsir-tafsir Al Quran dan sunnah yang telah dilakukan oleh ulama-ulama terdahulu, bukan perubahan atas Al Quran dan sunnah itu sendiri. 
2) fiqh (syariat) adalah hasil ijtihad manusia yang tidak lepas dari kelebihan dan kekurangan yang sangat bergantung kepada konsep perubahan ruang dan waktu.
Sebagai sebuah hasil proses interpretasi teks Al Quran dan sunnah Nabi saw melalui berbagai persyaratan metodologis dan intelektualitas yang sangat ketat sekalipun, pasti ada saja kelemahannya mengingat manusia secara fitrahnya memang terbatas, seperti ungkapan sebuah hadis populer “Manusia adalah tempatnya salah dan lupa.” Maka kekurangan dan kesalahan pada diri manusia adalah alamiah. Hal itu sangat mungkin terjadi pada fiqh yang merupakan hasil perumusan manusia. Maka sangat masuk akal dilakukan reinterpretasi atas fiqh, bukan untuk menggugat fiqh tetapi justru untuk mempertahankan fiqh.
Namun demikian, tetap ada tentangan dari kalangan yang mempertanyakan kemampuan kita sebagai manusia yang tidak dilahirkan pada masa Rasul, sahabat, atau tabiin (orang shalih dari generasi setelah khulafaurrasyidin). Padahal, fiqh bukanlah agama, ia dapat berubah sesuai perkembangan zaman. Selama ini fiqh terkesan tidak responsif terhadap gerakan pemberdayaan perempuan, padahal penyusunan fiqh perspektif baru akan menguntungkan dari dua segi, yaitu memperluas fiqh sebagai wacana yang tetap terbuka, dan memberikan kemungkinan untuk mengakomodasi setiap perkembangan 


BAB III
KESIMPULAN

Kesimpulan
          Gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang didasarkan atas kontruksi sosial. Syariat Islam sendiri telah menempatkan perempuan pada proporsi yang sangat jelas, yaitu sebagai manusia, sebagai perempuan, anak perempuan, istri atau ibu. Padahal sudah jelas bahwa Al-Qur’an menjungjung tinggi dua orang wanita sebagai contoh kesmpurnaan, yaitu asia, istri Fir’aun, dan Maryam, putrid Imran dan ibu Nabi Isa. Hadis Nabi menambahkan dua orang wanita lain yaitu Khadijah, istri Nabi Muhammad dan Fatimah, anak perempuan beliau.
          Kemudian untuk melakukan perubahan pandangan, kita harus memiliki dua persepsi yang mendukungnya, yaitu :

1. fiqh (syariat) itu bukan Al Quran dan bukan pula sunnah sehingga tidak tertutup kemungkinan untuk dilakukan perubahan di dalamnya. 
2. fiqh (syariat) adalah hasil ijtihad manusia yang tidak lepas dari kelebihan dan kekurangan yang sangat bergantung kepada konsep perubahan ruang dan waktu.





DAFTAR PUSTAKA
Abahanom-kng.blogspot.com/2012/10/fiqh-perempuan-kesetaraan-gender.html. Di akses tanggal 17 MEI 2026
Boisard, Marcel A, PROF, DR, Humanisme Dalam Islam, 2010, Bulan Bintang, Jakarta.
Mahfudh, Sahal, KH, MA, Fiqh Perempuan, 2011, LKiS, Yogyakarta.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Efek Blog