Kamis, 17 November 2016

MAKALAH KESEHATAN KELUARGA

BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Sehat menurut WHO (Maryani, 2010) adalah suatu keadaan yang sempurna baik secara fisik, mental maupun sosial serta tidak hanya bebas dari penyakit atau kelemahan, sedangkan sehat menurut UU nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan menyatakan bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan hidup produktif secara sosial dan ekonomi.
Dengan demikian, hidup sehat bagi suatu keluarga bukan suatu yang mustahil. Semua orang di dunia ini menginginkan hidup sehat, tidak mengalami penyakit. Tetapi kenyataannya di sekitar kita, penyakit-penyakit dan sumber-sumbernya ada di mana-mana, Sehat yang dimaksud bukan semata-mata bebas lepas dari penyakit infeksi, radang ataupun penyakit lainnya tetapi juga sehat mental, juga sehat rohani. Jadi apa gunanya ketika manusia tidak menderita penyakit fisik tapi ternyata menderita penyakit mental misalnya depresi, kurang waras atau lainnya.

Keluarga mempunyai 5 fungsi yaitu fung­si afektif, sosialisasi dan penempatan sosial, perawatan kesehatan, reproduksi dan ekonomi. Keluarga berperan dan menjadi aktor kunci dalam menentukan tindakan yang tepat untuk mengatasi masalah-masalah kesehatan anggota keluarga (Zulaekah, 2014; Setiadi, 2008).
Penelitian oleh Purwandari H (2011), menunjukkan dukungan keluarga yang diwu­judkan dalam pemberian rangsang atau sti­mulasi tumbuh kembang pada bayi terbukti mampu meningkatkan skor perkembangan bayi pada kelompok intervensi. Bayi dan balita membutuhkan stimulasi yang baik. Fase balita adalah fase keemasan tapi juga rentan dalam perkembangannya. Stimulasi yang kurang akan mengakibatkan kemampuan sosialisasi, baha­sa, motorik halus dan kasar menjadi terlambat (Depkes RI, 2009).
Berdasarkan fakta ini, perlu dikembang­kan model pemberdayaan keluarga dengan melibatkan kader kesehatan/relawan untuk membantu pendampingan stimulasi pada bali­ta. Hasil riset sebelumnya menunjukkan model pemberdayaan hanya dengan melibatkan kelu­arga inti (ayah dan ibu), menggunakan media modul, video, alat permainan terbukti mampu meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan keluarga (Purwandari, 2011). Fakta lain me­nunjukkan bidan tidak efektif melakukan skre­ening tumbuh kembang dan lebih melibatkan kader kesehatan, maka pada pengembangan model pemberdayaan keluarga tahun kedua ini dilakukan dengan melibatkan tenaga kader kesehatan/relawan untuk melakukan pendam­pingan stimulasi pada area yang lebih luas yaitu pada balita dan waktu implementasi diperpan­jang lebih 4 bulan. Perkembangan yang diukur, lebih difokuskan pada perkembangan personal sosial, bahasa dan motorik.
B.   Rumusan Masalah
1.  Bagaimana Pentingnya Dukungan Keluarga mengenai Tumbuh Kembang ?
2.  Bagaimana proses Tumbuh Kembang ?
C. Tujuan
1.  Untuk Mengetahui pentingnya dukungan keluarga mengenai Tumbuh Kembang Bayi dan balita .
2.  Untuk Mengetahui proses stimulasi Tumbuh Kembang

BAB II
PEMBAHASAN
Sehat menurut WHO (Maryani, 2010) adalah suatu keadaan yang sempurna baik secara fisik, mental maupun sosial serta tidak hanya bebas dari penyakit atau kelemahan, sedangkan sehat menurut UU nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan menyatakan bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan hidup produktif secara sosial dan ekonomi.
Upaya pemeliharaan kesehatan anak harus ditujukan untuk mempersiapkan generasi sehat, cerdas, dan berkualitas, melalui pemenuhan makanan bergizi dan perawatan dengan penuh kasih sayang. Kelompok usia 6-24 bulan adalah usia emas karena perkembangan anak meningkat pesat, sekaligus sebagai masa kritis, bila anak gagal melewatinya dapat terjebak kondisi “point of no return”, artinya walau anak dapat dipertahankan hidup tapi kapasitas perkembangan tak bisa kembali pada kondisi potensialnya. Hasyuti, N (2011), menyebutkan masa kritis anak terjadi usia 6-24 bulan, karena kegagalan tumbuh mulai terlihat.
Penelitian oleh Purwandari H (2011), menunjukkan dukungan keluarga yang diwu­judkan dalam pemberian rangsang atau sti­mulasi tumbuh kembang pada bayi terbukti mampu meningkatkan skor perkembangan bayi pada kelompok intervensi. Bayi dan balita membutuhkan stimulasi yang baik. Fase balita adalah fase keemasan tapi juga rentan dalam perkembangannya. Stimulasi yang kurang akan mengakibatkan kemampuan sosialisasi, baha­sa, motorik halus dan kasar menjadi terlambat (Depkes RI, 2009).
Proses tumbuh kembang bayi dan balita merupakan masa yang penting dalam perkem­bangan selanjutnya. Peran keluarga dalam bi­dang kesehatan dan dukungan sosial berkon­tribusi bagi balita dalam menjalani proses tumbuh kembang secara normal dan wajar se­hingga tidak ada penyimpangan.
(1) Identifikasi kebutuhan untuk stimulasi tumbuh kembang
Hasil penelitian menunjukkan 100% re­sponden teridentifikasi adanya kebutuhan un­tuk mendapatkan informasi stimulasi tumbuh kembang balita. Hasil survei ini menunjukkan adanya kebutuhan keluarga untuk melakukan stimulasi tumbuh kembang. Stimulasi tumbuh kembang adalah kegiatan merangsang  kemam­puan dasar anak, agar tumbuh kembang secara optimal. Latihan diberikan untuk merangsang kemampuan personal sosial, bahasa, motorik halus dan kasar (Depkes, 2009).
(2) Identifikasi model pemberdayaan
Hasil riset juga menunjukkan model pemberdayaan yang dikehendaki oleh  re­sponden adalah dalam bentuk penyuluhan rutin (41,27%). Frekuensi penyuluhan mini­mal 2 minggu sekali disetujui oleh mayoritas responden (94,1%), penggunaan kombinasi antara penggunaan modul, video dan pen­dampingan petugas disepakati oleh sebagian besar responden ( 67,6%).
Dukungan sosial untuk balita dapat di­berikan melalui ibu balitanya yaitu dengan memberikan penyuluhan dan pelatihan stimu­lasi dini tumbuh kembang untuk balita. Kegia­tan ini terdiri dari pelatihan klasikal selama 2 sesi. Sesi I, membahas praktik perawatan anak, dilanjutkan materi pertumbuhan dan perkem­bangan, cara melakukan stimulasi tumbuh kembang dengan melakukan demonstrasi ke­pada keluarga. Setelah pelatihan, keluarga di­berikan modul untuk pengingat aktivitas yang harus dilakukan selama di rumah.
Keluarga balita kemudian dikumpulkan dalam kelompok kecil berisi 8-10 orang, un­tuk kemudian diberikan pendampingan setiap 2 minggu sekali. Pendampingan ini dilakukan oleh kader, tenaga relawan dan didampingi peneliti. Aktivitas selama pendampingan ada­lah mengevaluasi praktik stimulasi yang telah dilakukan, memberikan feedback dan menga­jarkan praktik stimulasi untuk usia di atasnya. Media menggunakan modul dan video. Dalam modul terdapat lembar kunjungan, dan setiap kunjungan dituliskan apa yang menjadi perma­salahan keluarga, untuk kemudian diberikan solusi. Stimulasi yang diberikan adalah stimu­lasi perkembangan motorik halus, kasar, per­sonal sosial dan bahasa sesuai dengan tahapan usia. Proses ini berlangsung selama 5 bulan. Hasil temuan pada riset ini sesuai dengan pe­nelitian Rustina, (2007), menemukan adanya kebutuhan video untuk media pembelajaran orangtua dalam meningkatkan partisipasi pe­rawatan bayi prematur.
(3) Pengetahuan dan keterampilan keluarga
Kompetensi pengetahuan dan keteram­pilan keluarga dalam stimulasi pertumbuhan dan perkembangan balita diukur dari pengeta­huan terhadap prinsip stimulasi, kemampuan mengidentifikasi kebutuhan stimulasi, kemam­puan mengidentifikasi jenis aktivitas stimulasi, dan kemampuan mendemonstrasikan stimula­si perkembangan pada anak.
Kegiatan penyuluhan dan pelatihan da­pat meningkatkan pengetahuan ibu tentang stimulasi tumbuh kembang anak. Riset se­belumnya yang dilakukan Purwandari (2011) menemukan pelatihan yang diberikan dengan media modul dan video mampu meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan keluarga dalam menstimulasi tumbuh kembang bayi.
(4) Pertumbuhan dan perkembangan balita
Hasil pengukuran PB, BB dapat diiden­tifikasi status gizi menggunakan panduan PB/ BB. Hasil riset menunjukkan status gizi kebany­akan dalam status normal  Setelah intervensi balita yang kurus sudah tidak ada, dan balita gemuk meningkat.
Fakta ini menunjukkan proses pelatihan, pendidikan kesehatan, dan proses pendampingan pada keluarga mampu mening­katkan pengetahuan keluarga terkait penye­diaan nutrisi yang adekuat pada anak. Penge­tahuan ini akan terimplementasi dalam bentuk praktik keseharian berkaitan penyediaan nutri­si bagi anak, sehingga balita yang kurus menja­di berkurang setelah intervensi diberikan.
Penelitian ini sesuai dengan hasil pene­litian sebelumnya. Siddiqi (2007), menemukan stimulasi dini akan memberikan efek pening­katan perkembangan pada anak yang kerdil, kelebihan atau kekurangan gizi. Pemberian suplementasi zinc dan stimulasi psikososi­al mampu meningkatan perkembangan anak yang mengalami kurang gizi. Hasil riset ini se­suai dengan hasil riset sebelumnya. Suatu pro­gram stimulasi yang diberikan dirumah oleh pengasuh dapat meningkatkan perkembangan kognitif dan motor anak yang terinfeksi HIV (Potterton, 2010).
Rangsang atau stimulasi dini oleh kelu­arga dan sosial diberikan dengan memberikan pelatihan kepada orangtua cara melakukan stimulasi dini untuk personal sosial, bahasa, motorik halus dan kasar kepada keluarga. Se­lain itu, keluarga diberikan permainan sederha­na untuk melatih stimulasi. Hamadani (2006), mengembangkan indikator yang mempenga­ruhi perkembangan anak usia 18 bulan dian­taranya: kegiatan bermain, variasi alat permai­nan, sumber permainan, keberadaan buku dan majalah.
(5) Dampak model pemberdayaan terhadap pengetahuan dan ketrampilan keluarga
Penerapan model pemberdayaan mem­berikan dampak terhadap pengetahuan keluar­ga, khususnya terkait prinsip dan kemampuan identifikasi jenis stimulasi yang dibutuhkan dalam melakukan stimulasi tumbuh kembang (p value= 0,04; p value=0,01). Namun demiki­an, model pemberdayaan tidak memberikan dampak terhadap pengetahuan, khususnya terkait aktivitas stimulasi (p value 0,46). Semen­tara untuk ketrampilan melakukan stimulasi, model pemberdayaan tidak terbukti memberi­kan dampak terhadap kemampuan ketrampi­lan dalam melakukan stimulasi (p value 0,40.)
(6) Dampak model pemberdayaan terhadap pertumbuhan dan perkembangan balita
Model pemberdayaan memberikan dampak terhadap pertumbuhan balita (berat badan dengan p value 0,00, panjang badan p value 0,00, lingkar kepala p value 0,00, lingkar lengan atas p value 0,00). Selain pertumbuhan, implementasi model pemberdayaan mampu memberikan dampak signifikan terhadap perkembangan personal sosial, bahasa, mo­torik halus dan kasar, masing-masing dengan nilai p value 0,00.
Menurut Croesnoe (2009), menemukan pemberian stimulasi kognitif di rumah dan ta­man kanak-kanak memberikan dampak posi­tif pada anak dengan orang tua yang memiliki pendapatan rendah. Studi lain yang dilakukan dilakukan Nahar (2009), menunjukkan inter­vensi psikososial yang terintegrasi untuk anak kurang gizi berat mampu meningkatkan per­tumbuhan dan perkembangan anak usia 6-24 bulan. Intervensi psikososial dilakukan dengan melakukan pertemuan rutin setiap hari dengan ibu dan anak, serta sesi pertemuan secara indi­vidu selama 2 minggu di rumah sakit. Kegiatan ini diikuti dengan kunjungan rumah secara ru­tin selama 6 bulan.
Hasil temuan menunjukkan model pemberdayaan memberikan dampak terha­dap pertumbuhan dan perkembangan balita. Hasil riset ini selaras dengan hasil-hasil riset sebelumnya. Riset yang dilakukan Hamadani (2006), Huda, Khatun dan Grantham-McGre­gor (2006) menunjukkan pemberian stimulasi psikososial pada anak usia 6-24 bulan dengan kurang gizi di Bangladesh, mampu mening­katkan perkembangan mental, kemampuan vokalisasi, kooperatif, sikap terhadap penguji, nada emosional, dan pengetahuan ibu tentang pengasuhan. Intervensi psikososial dilaku­kan dengan mengajarkan pentingnya interaksi anak-orangtua dan mempertahankan perkem­bangan anak (memberikan pujian, umpan ba­lik positif, permainan yang sesuai, pengajaran tentang pemberian label dan hukuman).
Studi yang dilakukan Nair (2009), me­nemukan pemberian stimulasi dini (di rumah) pada satu tahun pertama kehidupan, efektif meningkatkan indeks perkembangan mental dan psikomotor bayi. Intervensi psikososial pada tahap perkembanga kritis (di bawah 5 ta­hun) dapat mencegah perilaku kekerasan pada usia remaja dan dewasa (Grantham-McGregor, 2011).
Bonnier (2008) menemukan program stimulasi dini dalam bentuk Newborn Indivi­dualized Developmental Care and Assessment Program serta Infant Health and Development Program, efektif untuk mempertahankan ke­mampuan kognitif dan interaksi orangtua dan anak, kemampuan gerak kasar meningkat di­bandingkan dengan individu yang berisiko lainnya. Sementara Barros (2008), menemukan stimulasi kognitif yang kuat mampu memberi­kan pengaruh pada anak dengan orangtua yang memiliki pendidikan rendah. Riset yang dila­kukan Egami (2009), menemukan latihan per­gerakan mata dengan penanda mampu men­gestimasi kemampuan penglihatan pada masa kanak-kanak. Hasil studi ini menunjukkan sti­mulasi visual memberikan manfaat positif bagi anak.
Perempuan memainkan peranan sangat penting dan strategis sebagai motor di dalam menciptakan keluarga yang berkualitas. Salah satu aspek yang mendukung keluarga berkualitas adalah kondisi kesehatan keluarga. Kesehatan keluarga Dalam mengenal masalah kesehatan, pengambilan keputusan, perawatan anggota keluarga, memelihara lingkungan tempat tinggal, dan memanfaatkan fasilitas kesehatan, kebanyakan keluarga bertumpu pada ibu yang diposisikan sebagai istri dan sebagai pemberi asuhan kesehatan. Pentingnya peranan perempuan dalam peningkatan kesehatan keluarga dan masyarakat menyebabkan perempuan selalu dijadikan ujung tombak dalam setiap program pembangunan kesehatan masyarakat,
khususnya pembangunan kesehatan masyarakat yang bersifat menaikkan derajat kesehatan bayi dan anak.
            Bila perempuan yang diharapkan sebagai elemen penting dalam berperan aktif dalam pembangunan, maka diperlukan upaya terpadu dalam rangka memberdayakan perempuan. Perempuan memiliki peranan yang penting bagi kesehatan keluarga. Bagi keluarga, perempuan memiliki peranan yang besar dalam mengajarkan nilai-nilai kebersihan dan hidup sehat di rumah. Maka, jika perempuan sehat, maka masyarakat pun akan sehat, termasuk bangsanya.
            Masalah yang ditemukan adalah permasalahan gizi yang tidak disadari oleh keluarga bahwa perlakuan mendahulukan orangtua atau laki-laki makan terlebih dahulu masih biasa dilakukan seperti yang diungkapkan bahwa terkadang memang itu dilakukan oleh keluarga walaupun ada pula keluarga yang tidak melakukannya tetapi menerapkan makan bersama dalam keluarga. Bila perempuan tidak memperoleh asupan makanan yang lebih baik dalam jumlah yang memadai, perempuan akan mengalami gangguan kesehatan secara umum, termasuk kelelahan yang luar biasa, rasa lemah, serta anemia. Jika seorang perempuan yang
selama hidupnya kurang mendapat makanan yang sebanding dengan energi yang dikeluarkan kemudian hamil, pada waktu melahirkan nanti mungkin saja ia mengalami berbagai kesulitan, antara lain pendarahan yang tak normal, infeksi, atau bayinya lahir terlalu kecil.
Dalam penelitian ini terlihat bahwa perempuan berperan dalam menjaga, merawat, dan turut serta dalam membuat keputusan kesehatan keluarga yang akan dapat menciptakan kesehatan keluarga yang sehat bagi setiap anggota keluarga.
Selain itu, dalam hal proses penyembuhan penyakit kepada anggota keluarga, ada yang disebut dengan proses pengambilan keputusan. Proses pengambilan keputusan keluarga pada saat mengalami gangguan kesehatan mewarnai perilaku keluarga mencari pertolongan kesehatan (health seeking behavior) yang dikaitkan dengan sistem kepercayaan tentang sehat dan sakit, pengetahuan dan sikap mereka terhadap pelayanan kesehatan yang tersedia.

BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Dukungan keluarga dalam melakukan rangsang/stimulus tumbuh kembang pada bayi dan balita dapat meningkatkan proses tumbuh kembang. Peningkatan peran keluarga dan dukungan sosial (kader kesehatan) juga ber­dampak positif terhadap peningkatan proses tumbuh dan kembang balita (seperti: personal sosial, bahasa dan motorik). Keluarga dan kader kesehatan disarankan untuk terus memberikan dukungan kepada bayi dan balita di lingkungan keluarga dan saat kegiatan posyandu dengan cara memberikan rangsang secara optimal.
Dengan demikian, hidup sehat bagi suatu keluarga bukan suatu yang mustahil. Semua orang di dunia ini menginginkan hidup sehat, tidak mengalami penyakit. Tetapi kenyataannya di sekitar kita, penyakit-penyakit dan sumber-sumbernya ada di mana-mana, Sehat yang dimaksud bukan semata-mata bebas lepas dari penyakit infeksi, radang ataupun penyakit lainnya tetapi juga sehat mental, juga sehat rohani. Jadi apa gunanya ketika manusia tidak menderita penyakit fisik tapi ternyata menderita penyakit mental misalnya depresi, kurang waras atau lainnya.
B. Saran
Melihat kenyataan bahwa perempuan menjadi motor penggerak dalam penanganan kesehatan keluarga, maka perlu peningkatan aktualisasi perempuan melalui pendidikan,karena pendidikan adalah elemen essensial, sarana perempuan menemukan makna,pengetahuan, keterampilan, dan memahami kebudayaannya. Dengan pendidikan, cakrawala perempuan menjadi demikian luasnya. Maka semua pihak, tak terkecuali harus memberikan akses pendidikan kepada perempuan.


DAFTAR PUSTAKA
Barros, A.J. D. Matijasevich, A. Santos, I. S and Halpern, R. 2008. Child development in a birth cohort: effect of child stimulation is stronger in less educated mothers. International Journal off Epidemiology. Vol 39 (1): 285-294.
Bonnier. C. 2008. Evaluation of early stimulation programs for enhancing brain development. Journal Acta Paediatrica. Vol 97 (7): 853-858
Crosnoe, et.al. 2009. Family socioeconomic status and consistent environmental stimulation in early childhood. Journal Child Development. Vol 81(3):972-987.
Departemen Kesehatan Jawa Tengah. 2008. Profil Kesehatan Tahun 2008. Depkes Jawa Tengah. Semarang.
Nair, et.al.. 2009. Effect of Child Development Centre model early stimulation among at risk babies a randomized controlled trial. Journal Indian Pediatrics. Vol 46:20-26.
Nahar, et.al.. 2009. Effects of psychosocial stimulation on growth and development of severely malnourished children in a nutrition unit in Bangladesh. Europe Journal Clinical Nutrition. Vol 63 (6): 725-731.
                                            


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Efek Blog